LUBUKLINGGAU – Sebuah kisah mengharukan datang dari area kantin rumah di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Siti Aisyah Lubuklinggau. Seorang pedagang perempuan yang sudah lama berdagang di daerah tersebut, sebut saja Ibu Retno (nama disamarkan), merasa sangat kecewa dan kesal akibat perlakuan tidak menyenangkan dari salah satu oknum pedagang lain.
Ibu Retno, yang sejak bertahun-tahun dikenal ramah dan dermawan, rutin memberikan air panas secara gratis kepada keluarga pasien yang membawa termos. Niat baik ini dilakukan sebagai bentuk empatinya terhadap keluarga pasien yang sedang berjuang mendampingi orang-orang terkasih mereka di rumah sakit.
Namun, suasana penuh kepedulian berubah drastis sejak para pedagang dipindahkan ke lokasi kantin baru. Dengan biaya sewa Rp200 ribu per bulan ditambah pungutan kebersihan Rp60 ribu, keamanan Rp50 ribu, dan air bersih Rp30 ribu per lapak, para pedagang menempati area baru yang diharapkan lebih teratur dan nyaman. Sayangnya, konflik mulai muncul.
Ibu Retno mengaku dilarang oleh salah satu oknum pedagang untuk menggratiskan air panas. Ia bahkan ditegur saat sedang membantu keluarga pasien yang meminta air panas dengan niat tulus tanpa biaya. Larangan ini membuat jengkel dan merasa terintimidasi. Apalagi yang membuat hati Ibu Retno makin pilu adalah ketika salah satu anggota keluarganya sendiri dari Desa Kusgoro, Musi Rawas, datang untuk menjenguk pasien dan meminta air panas justru dikenakan biaya Rp5.000 per termos oleh oknum tersebut.
"Saya ini cuma mau bantu. Air panas itu saya gratiskan karena saya tahu, tidak semua orang yang datang ke rumah sakit ini punya uang lebih. Tapi sekarang malah dilarang, dan keluarga saya sendiri dimintai uang untuk air panas. Sakit hati saya," ungkapnya.
Lebih mengejutkan lagi, Ibu Retno mengaku bahwa oknum pedagang yang mendorongnya pernah 'memaki dirinya'. Sebuah pernyataan yang membuka potensi adanya konflik pribadi atau ekosistem yang lebih dalam.
“Sekitar 4 lapak yang ngotot itu,” tutupnya.
Posting Komentar